Jakarta, Virenial.com – Ancaman COVID-19 mulai terabaikan sejak Mei 2023 setelah WHO mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Walaupun status emergency telah dicabut, namun sebenarnya kasus penularan COVID-19 masih terjadi dan jumlahnya naik turun.
Saat ini lonjakan kasus COVID-19 baru mulai terjadi di banyak negara akibat varuan baru turunan dari Omicron JN.1 yaitu varian NB.1.8.1.
Contoh lonjakan kasus COVID-19 yaitu terjadi di India dimana pada awal Juni 2025 terdapat 3.758 kasus padahal pada bulan sebelumnya yaitu 22 Mei hanya ada 257 kasus.
Lonjakan kasus sebanyak 20 kali lipat terjadi di West Bengal yang membuat pihak rumah sakit di Kolkata menambah kapasitas isolasinya.
Begitu juga di Australia terutama di Tasmania dimana terjadi peningkatan kasus diakibatkan oleh varian NB.1.8.1.
Dalam sepekan 15 ribu kasus dilaporkan terjadi di Thailand dan Singapura. Bahkan 200 ribu kasus infeksi COVID-19 dilaporkan terjadi sepanjang tahun 2025 di Thailand.
Untuk di Indonesia dilaporkan hanya 75 kasus saja sejak awal tahun 2025. Menurut Pandu Riono, Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), total kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan bisa jadi jauh lebih tinggi. hal ini disebabkan oleh testing COVID-19 yang menurun.
“Kalau naik pun nggak terdeteksi juga, nggak ada yang mau testing. Siapa sekarang yang mau testing, orang mungkin juga nggak bergejala. Testing kan nggak murah dan bukan jaman seperti COVID-19 yang tesnya bisa gratis,” kata Pandu, Senin (2/6/2025).
Kenaikan jumlah kasus COVID-19 yang terkesan tiba-tiba ini membuat banyak pihak yang menduga bahwa hal ini adalah propaganda dengan maksud atau tujuan tertentu.
Namun terlepas dari itu, sebenarnya sejak status pandemi dicabut pada Mei 2023, penularan COVID-19 masih terus terjadi namun dengan gejala yang lebih ringan.
Gejala yang ringan ini disebabkan karena sudah banyak masyarakat yang menerima dua dosis Vaksin COVID-19.
Pandu menilai bahwa belum perlu dilakukan vaksin ulang karena belum ada evidence based.
“Kalau divaksinasi lagi nggak perlu, nggak ada evidence based vaksinasi ulang itu bisa menangani, karena imunitas yang ada saat ini sudah cukup memadai. Nanti kan jadi kontraproduktif Menkes (dituduh) jualan vaksin lagi,” kata Pandu.
“Kita juga kan sangat beruntung sama menggunakan Sinovac, vaksin yang cukup andal, Sinovac kan virus utuh, kalau mRNA kan cuma bagian dari virus, yang suka berubah nah itu yang mengkhawatirkan di banyak negara, kalau Indonesia sih nggak perlu khawatir,” tambahnya.