Jakarta, Virenial – Kejagung (Kejaksaan Agung) kembali menambahkan 1 orang tersangka terkait dengan kasus dugaan korupsi timah sehingga sampai dengan saat ini total tersangka dugaan korupsi timah menjadi 22 tersangka.
Tersangka terbaru kasus ini yaitu Bambang Gatot Ariyono yang merupakan mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022.
Berikut daftar tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga timah:
Tersangka Pokok Perkara:
- Suwito Gunawan (SG), Komisaris PT SIP
- MB Gunawan (MBG), Direktur PT SIP
- Tamron alias Aon (TN), beneficial owner CV VIP
- Hasan Tjhie (HT), Direktur Utama CV VIP
- Kwang Yung alias Buyung (BY), mantan Komisaris CV VIP
- Achmad Albani (AA), Manajer Operasional Tambang CV VIP
- Robert Indarto (RI), Direktur Utama PT SBS
- Rosalina (RL), General Manager PT TIN
- Suparta (SP), Direktur Utama PT RBT
- Reza Andriansyah (RA), Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
- Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), Direktur Utama PT Timah 2016-2011
- Emil Ermindra (EE), Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018
- Alwin Akbar (ALW), mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah
- Helena Lim (HLN), Manajer PT QSE
- Harvey Moeis (HM), perpanjangan tangan dari PT RBT
- Hendry Lie (HL), beneficial owner atau pemilik manfaat PT TIN
- Fandy Lie (FL), marketing PT TIN sekaligus adik Hendry Lie
- Suranto Wibowo (SW), Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung 2015-2019
- Rusbani (BN), Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung Maret 2019
- Amir Syahbana (AS), Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung
- Bambang Gatot Ariyono, Mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022.
Tersangka Perintangan Penyidikan:
- Toni Tamsil alias Akhi (TT)
Kuntadi, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, mengungkapkan bahwa Bambang diduga melakukan tindakan melawan hukum terkait perubahan RKAP tahun 2019.
“Yang bersangkutan dipersalahkan karena pada periode tahun 2018-2019 yang bersangkutan secara melawan hukum telah merubah RKAP tahun 2019,” kata Kuntadi.
Ia menambahkan perubahan RKAP yang dimaksud yaitu awalnya 30.217 metrik ton menjadi 68.300 metrik ton ini tidak didasarkan pada kajian apapun namun semata-mata hanya untuk mengakomodir produksi timah ilegal.
“Perubahan ini sama sekali tidak dilakukan dengan kajian apapun. Belakangan kita tahu, berdasarkan alat-alat (bukti) yang ada, perubahan tersebut dalam rangka untuk memfasilitasi aktivitas transaksi timah yang diproduksi secara ilegal,” katanya.